Search

Negeri Soya Dan Adat Cuci Negeri sebuah mozaik budaya Maluku (Bag III)

Baca Bag. I dan Bag. II
(Sumber : Pemerintah Negeri Soya; Kota Ambon, Maluku)

Kondisi Geografis Negeri Soya

Negeri Soya adalah sebuah Negeri Adat, terletak di pinggir Kota Ambon, dengan puncak Gunung Sirimau sebagai Icon-nya. Negeri ini berada di ketinggian lebih kurang 464 Meter dari permukaan laut.
  
Berbatasan; sebelah Timur dengan Negeri Hutumury dan Negeri Passo; sebelah Barat dengan Negeri Halatay;   sebelah selatan dengan Negeri Naku dan Ema; dan sebelah Utara dengan Laut Teluk Ambon. Suhu udara pada umumnya berkisar antara 20 derajat - 30 derajat Celcius. Untuk mencapai Negeri Soya dapat digunakan kendaraan jenis apapun dengan kondisi jalan yang berliku-liku namun mulus, dengan jarak kurang lebih 4 Km dari pusat Kota Ambon.
Sejumlah kekayaan peninggalan sejarah seperti Gereja Soya, memberi nilai tersendiri bagi negeri ini. Letak Gereja Tua Soya yang selama ini telah ditetapkan sebagai cagar budaya, berada di tengah-tengah Negeri Soya, merupakan tempat yang sangat strategis karena berdampingan dengan sekolah dan Balai Pertemuan serta Rumah Raja. Sebagai Negeri yang kaya dengan nilai budaya dan adat istiadat,  Negeri Soya merupakan salah satu daerah tujuan wisata di Maluku. Situs Gereja Tua Soya adalah salah  satu tempat yang selama ini paling banyak dikunjungi oleh wisatawan dalam maupun luar negeri, disamping tempat-tempat lain seperti;Tempayang yang selalu berisi air walaupun tidak hujan yang berada di  tengah puncak Gunung Sirimau.
Secara Topografis, Negeri Soya berbukit-bukit yang merupakan gejala morpologis. Keadaan demikian menjanjikan kesuburan tanah yang dapat diusahakan dengan tanaman buah-buahan dan tanaman umur panjang lainnya. Dengan Letaknya di ketinggian daerah pegunungan serta curah hujan yang cukup tinggi,  maka Negeri Soya memiliki hutan yang subur, dengan ditumbuhi aneka ragam tanaman dan tumbuh-tumbuhan liar. Semua sungai/kali yang bermuara di pantai Teluk Ambon mulai dari Waihaong sampai ke pantai Passo, bersumber di lereng-lereng Gunung Sirimau dari petuanan Negeri Soya.

Budaya dan Agama

Penduduk Negeri Soya adalah masyarakat yang ramah dan religius, dengan gotong royong sebagai ciri khas masyarakat negeri penghasil durian dan salak ini. Nilai-nilai adat dan budaya seperti : Naik Baileo, cuci air, kain gandong, naik ke gunung Sirimau, selalu terpelihara dengan baik dan merupakan sebuah tradisi budaya yang telah menjadi Icon negeri dari turun temurun hingga saat ini.
Sebelum kedatangan bangsa Portugis  di Maluku, Negeri Soya merupakan sebuah kerajaan  yang berdaulat dengan wilayah kekuasaan meliputi, Teluk Ambon sampai ke Passo, Pesisir Pantai Timur sampai Selatan Jazirah Leitimor, dibawah pemerintahan Raja yang terkenal saat itu yakni “Latu Selemau” dengan Panglima Perangnya “Kapitan Hauluang” .  Raja dan Panglima perang ini dibantu  kapitan-kapitan kecil sebagai kepala pasukan tombak, panah, dan parang salawaku, dengan kekuatan 300 orang prajurit yang didukung oleh kurang lebih 1000 orang rakyat.
Hubungan dagang kerajaan Soya dengan Hitu, Ternate, dan Tidore bahkan Raja-Raja Goa terjadi pada akhir abad 14 saat Kerajaan Mojopahit telah pudar kekuasaannya dan kerajaan Islam mulai tumbuh. Bersamaan dengan itu, masuklah Armada Portugis yang menjadikan Kerajaan Soya kurang dipengaruhi oleh budaya Hindu maupun Islam.
Masyarakat Negeri Soya ternyata tidak menerima kedatangan bangsa Portugis yang bertujuan untuk melakukan perdagangan rempah-rempah. Rakyat Negeri Soya kemudian mengangkat senjata melawan Portugis. Perlawanan masyarakat tersebut dipimpin oleh tujuh anak Latu Selemau yang menguasai Soa Ahuseng, Soa Amangtelu, Soa Uritetu, Soa Labuhan Honipopu, dan Soa Atas. Perlawanan ini ternyata tidak membuahkan hasil. Kerajaan Soya takluk kepada Portugis. Kekalahan ini berhasil merubah wajah dan status Negeri Soya dari sebuah kerajaan yang berdaulat menjadi bagian dari daerah yang dikuasai oleh Portugis. Rakyatnya kemudian diinjili dan dibaptis oleh Fransiscus Xaverius dan menjadikan orang Soya beragama Kristen Katolik. Orang Soya yang tidak mau menyerah  terus bertahan di puncak Gunung Sirimau. Mereka hidup terisolir serta tidak mempunyai hubungan dengan kerajaan lainnya.
Pada tahun 1605 armada VOC dibawah Pimpinan Steven vander Hagen    memasuki labuhan Honipopu dan menyerang Benteng Portugis dari arah laut serta mengambil alih Benteng  Portugis dan diberi nama VICTORIA. Kemenangan VOC atas Portugis  membuka peluang bagi disebarkannya paham agama Kristen Protestan oleh Pendeta-Pendeta VOC. Hasilnya adalah, banyak orang Kristen Katholik beralih menjadi Kristen Protestan.
Kegiatan penginjilan ini dikaitkan dengan kepentingan VOC dalam menegakkan kekuasaan kolonial di Pulau Ambon. Dengan hak-hak istimewa yang mereka miliki dari Kerajaan Belanda, mereka gunakan untuk mengangkat pegawai asal pribumi termasuk juga mendidik dan menthabiskan pendeta baru asal pribumi untuk kepentingan penginjilan diantaranya; Lazarus Hitijahubessy yang diutus ke Negeri Soya untuk menyebarkan Injil pada tahun 1817. Melalui penginjilannya, Negeri Soya menjadi Kristen. Pengkristenan ini, ternyata berpengaruh terhadap adat-istiadat masyarakat Negeri. Secara adaptif nilai-nilai Kristiani dimasukan ke dalam adat maupun upacara adat seperti Rapat Negeri, Kain Gandong, Naik Baileo, Cuci Air, Cuci Negeri, naik ke puncak Gunung Sirimau dan Pesta Bulan Desember sebagai tanda persiapan/ penyambutan Natal Kristus.
Gedung Gereja Tua Soya walaupun bentuknya yang sederhana, namun telah memberikan andil bagi sejarah Pekabaran Injil di Maluku, khususnya di Negeri Soya. Kekristenan di Negeri Soya harus diakui tidak dapat dilepaskan dari hadirnya Joseph Kham yang bertemu dengan orang-orang Kristen di Negeri Soya pada tahun 1821. Jika digambarkan dalam angka, maka perkembangan  kekristenan pada saat itu adalah sebagai berikut : Anggota Sidi : 22 orang,  Anggota Babtis Dewasa : 21  orang,  Anak Sekolah : 10 orang,  Anak di luar Sekolah : 7  orang,  dan Anak yang dibabtis : 1 orang.
Dari angka tersebut di atas dapat dikatakan bahwa  proses pekabaran Injil di Negeri Soya ternyata berjalan lambat. Hal ini disebabkan karena masyarakat Soya yang masih terisolir, dan karenanya tidak mudah menyerahkan diri untuk dibaptis sebagai akibat peperangan dengan Bangsa Portugis. Faktor lain adalah, angka kelahiran yang sangat rendah disamping kehidupan sosial ekonomi.. Namun, harus diakui kedatangan Joseph Kham merupakan angin baru bagi penginjilan di Maluku termasuk Soya, yang menjadikan jumlah pemeluk Agama Kristen dari waktu ke waktu terus bertambah.
Dalam kaitannya dengan penyebaran Agama Kristen di Maluku, Gedung Gereja Soya sebenarnya mempunyai catatan sejarah tersendiri. Pertumbuhan Gedung Gereja Soya pada awalnya tidak diketahui. Untuk menampung kebutuhan kegiatan ibadah, pada tahun 1876 Raja Stephanus Jacob Rehatta memimpin orang Soya untuk memperbaiki serta memperluas bangunan Gereja secara semi permanen yang dipergunakan sampai tahun 1927. Pada masa pemerintahan Leonard Lodiwijk Rehatta, Gedung Gereja Soya yang diperbaharui tahun 1927, pada tahun 1996 kembali dipugar dan atau direstorasi dibawah panduan Bidang Museum Sejarah dan Kepurbakalaan Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Maluku. Hasil ini hanya bertahan hingga 28 April 2002 saat Negeri Soya diserang oleh kaum perusuh yang mengakibatkan korban jiwa meninggal 11 orang, 12 orang luka berat, dan sejumlah lain luka ringan, disamping 22 buah rumah hangus terbakar rata dengan tanah, dan  Gedung Gereja Tua Soya yang telah menjadi Bangunan Cagar Budaya.  Gereja Tua Soya  kemudian berhasil dibangun kembali dan diresmikan oleh Ketua Sinode GPM Dr. Chr. J. Ruhulessin, M.Si dan Gubernur Maluku, Karel Albert Ralahalu.

Asal Mula Upacara Adat Cuci Negeri

Menurut sumber yang ada, pada waktu dulu upacara adat cuci negeri  berlangsung selama lima hari berturut-turut. Segera setelah musim Barat (bertiupnya angin barat) yang jatuh pada bulan Desember,  Upacara cuci negeri dimulai. Mereka percaya bahwa dengan bertiupnya angin barat,  akan membawa serta datuk-datuk. Pada malam hari menjelang hari pertama dengan dipimpin oleh “Upu Nee” (initiator), para pemuda berkumpul di Samorele. Mereka mengenakan “cidaku” (Cawat), sedangkan mukanya dicat hitam (guna penyamaran), sebaliknya,  semua wanita dilarang  keluar rumah.
Para pemuda dengan dipimpin oleh Upu Nee menuju ke Sirimau tempat bersemayam Upulatu yang didampingi oleh seekor Naga. Upu Nee berjalan mendahului rombongan dan memberitahukan Upulatu bahwa, para pemuda akan datang dari clan-clan dimana mereka berasal.
Menjelang tengah malam, para pemuda yang ada didudukan dalam posisi bertolak belakang. Dalam keadaan seperti itu, datanglah Naga menelan mereka, dan menyimpan mereka selama lima hari dalam perutnya. Pada tengah hari pada hari kelima, Naga kemudian memuntahkan mereka. Masing-masing orang dari mereka kemudian menerima tanda, suatu lukisan berbentuk segi tiga pada dahi, dada, dan perut. Sementara itu,  para wanita dan orang-orang tua telah membersihkan Samasuru dan Negeri.
Menjelang tengah hari, turunlah Upulatu bersama pemuda-pemuda tadi dari tempat Naga menuju Samasuru. Di sana, keluarganya  telah menunggu. Dalam prosesi tersebut, lagu-lagu tua dan suci dinyanyikan (suhat) Raja / Upulatu mengambil tempat pada batu tempat duduknya (PETERANA) dan berbicaralah Raja  dari tempat itu (Batu Stori Peterana) sambil menengadahkan mukanya ke Gunung Sirimau.
Sejarah mengenai jasa-jasa, pekerjaan-pekerjaan besar dari para datuk-datuk, sifat kepahlawanan mereka diceritakan kepada semua orang yang sedang berkumpul. Permohonan-permohonan dinaikan kepada Ilahi (dalam bentuk KAPATA) yang antara lain berkisa kepada penyelamatan negeri Soya beserta penduduknya dari bahaya, penyakit menular, dan mohon kelimpahan berkah, Taufik dan Hidayat-Nya kepada semua orang. Selesai ini semua,  semua orang pun berdiri dan dua orang wanita (Mata Ina) yang tertua dari keluarga (Rumah Tau), Upulatu melilitkan sebuah pita yang berwarna putih melingkari orang itu (Kain Gandong Sekarang).
Dari cerita tua ini, nampak jelas pengaruh dari Upacara Tanda ala KAKEHANG di Seram Barat. Dapat ditarik kesimpulan bahwa pada waktu dulu  upacara adat di Baileo (Samasuru)  dilakukan untuk merayakan lulusnya para pemuda yang lulus dari upacara initiati di puncak Gunung Sirimau  tersebut. Kemudian setelah masuknya agama Kristen yang dibawa oleh orang Portugis dan Belanda, maka penyelenggaraan upacara ini mengalami perubahan bentuk. Selanjutnya dengan cara evolusi yang terjadi di dalam masyarakat yang meliputi segi pendidikan, kerohanian, sosial, dan lain-lain, sebagaimana penyelenggaraannya dalam bentuk sekarang.


Maksud Dan Tujuan 

Maksud dari penyelenggaraan dan perayaan upacara adat tiap tahun di Negeri Soya oleh penduduk serta semua orang yang merasa hubungan kelaurganya dengan Negeri Soya bukan semata-mata didasarkan oleh sifatnya yang tradisionil, tetapi lebih dari itu, dimaksudkan untuk memelihara, dan atau  menghidupkan secara  terus menerus kepada generasi  sekarang maupun yang akan datang, berkenaan dengan, sifat dan nilai-nilainya yang positif.
Tidak dapat disangkal bahwa dari keseluruhan upacara adat ini, terdapat sejumlah hal penting antara lain: Persatuan, musyawarah, gotong royong, kebersihan, dan toleransi. Unsur-unsur tersebut di atas yang menjadikan upacara adat cuci negeri dapat  bertahan sampai saat ini. Maksud perayaan penyelenggaraan setiap kali menjelang akhir tahun tersebut dapatlah dijelaskan sebagai berikut :
Bahwa datuk-datuk/para leluhur dahulu memilih waktu pelaksanaan upacara adat tersebut tepat di bulan Desember , saat  permulaan  musim barat (waktu bertiup angin darat). Menurut kepercayaan mereka pada waktu itu, arwah leluhur biasanya kembali dari tempat-tempat peristirahatannya ke tempat-tempat dimana mereka pernah hidup. Disamping itu, ada kepercayaan bahwa sehabis musim timur/hujan,  biasanya keadaan yang diakibatkan selama musim hujan itu sangat banyak, antara lain : tanah longsor, rumah-rumah bocor, pagar dan jembatan rusak, sumur-sumur menjadi kotor dan banyak lagi hal-hal lain yang harus dibersihkan, dibetulkan, diperbaharui.
Untuk membenahi hal-hal yang diakibatkan oleh kejadian alam tersebut, maka para datuk-datuk menyelenggarakan upacara serta aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan penataan negeri dari berbagai kerusakan yang terjadi.
Dengan masuknya agama Kristen yang dibawa oleh Bangsa Barat, maka beberapa hal yang berbau animisme dan dinamisme ditanggalkan dan disesuaikan dengan ajaran Kristen seperti: meniadakan persiapan-persiapan untuk menyambut arwah-arwah leluhur. Makna kegiatan ini juga kemudian dikaitkan dengan ajaran Kristen dalam kaitannya dengan persiapan-persiapan perayaan Natal. Makna dari cuci negeri ini lebih ditonjolkan dengan maksud untuk mempersiapkan masyarakat dalam menyambut Anak Natal.
Upacara cuci negeri dengan demikian lebih bersifat menyucikan diri dari perasaan perseteruan, kedengkian, curiga-mencurigai (Simbolnya pada : turun mencuci tangan, kaki, dan muka di air Wai Werhalouw dan Unuwei). Dari segi keagamaan, penyelenggaraan ini yang kebetulan berlangsung pada awal bulan Desember mempunyai makna yang luas dalam menyongsong dan menyambut hari Raya Natal, Kunci Tahun dan Tahun Baru. Kesibukan di hari-hari ini sekaligus merupakan hari-hari atau minggu advent untuk persiapan perayaan hari raya berikutnya dengan keadaan yang cukup baik.

Upacara Adat Cuci Negeri

Sejak dahulu Negeri Soya telah terkenal dengan Upacara Adat “Cuci Negeri”. Upacara ini menarik perhatian banyak wisatawan baik dalam maupun luar negeri, serta para ilmuan. Seorang Anthropolog Amerika, Dr. Frank Cooley telah menyelesaikan disertasinya yang berjudul “Altar and Throne in Central Moluccan Societies” untuk mencapai gelar Doktor dengan mempergunakan banyak sekali data-data dari upacara adat tersebut.
Adapun proses  jalannya upacara adat “Cuci Negeri” dapat dijelaskan  sebagai berikut :

o    Rapat Saniri Besar
o    Pembersihan Negeri
o    Naik ke Gunung Sirimau dan Matawana
o    Turun dari Gunung Sirimau dan Penyambutan di Rulimena
o    Upacara Naik Baileo Samasuru
o    Kunjungan ke Wai Werhalouw dan Uniwei
o    Persatuan dalam  Kain Gandong
o    Kembali Ke Rumah Upulatu (Raja)
o    Pesta Negeri
o    Cuci Air

Kindle Wireless Reading Device, Wi-Fi, Graphite, 6" Display with New E Ink Pearl Technology
1.    Rapat Saniri Besar

Upacara adat Cuci negeri biasanya diselenggarakan pada setiap minggu kedua bulan Desember. Sebelum pelaksanaan upacara, pada tanggal 1 Desember selalu diadakan Rapat Saniri Besar,  dimana berkumpul semua orang laki-laki yang dewasa, bersama Badan Saniri Negeri, serta Tua-Tua Adat untuk bermusyawarah membicarakan persoalan Negeri. Dalam musyawarah ini, terjadi dialog antara pemerintah dan rakyat secara langsung mengenai berbagai hal yang telah dipersiapkan oleh Saniri atas dasar Surat Masuk maupun yang langsung disampaikan oleh rakyat yang hadir pada saat itu. Pada rapat inilah,  masalah upacara adat dibicarakan.

Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ketik komentar di bawah ini ya

Pengunjung

Free counters!